JAKARTA – Konferensi Asia Afrika (KAA) memasuki tahap pertemuan kepala negara dan utusan khusus pada 22 April lalu. Forum tingkat tinggi yang dihadiri pucuk pimpinan negara besar Asia dan Afrika itu menghasilkan beberapa sikap tegas. Salah satunya, melawan dominasi lembaga dunia yang dinilai masih timpang.
Salah satu agenda penting dari rangkaian KAA itu dimulai pukul 08.00 WIB. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut kedatangan 21 kepala negara, 71 utusan khusus setingkat wakil presiden dan menteri, 16 perwakilan negara pengamat, dan 18 delegasi organisasi. Setelah itu, peserta pun masuk ke Assembly Hall 2 JCC untuk memulai rapat.
Pertemuan tersebut dimulai dengan tarian kreasi khas Jawa Timur dengan tema hope of the nations. Setelah itu, Jokowi pun maju ke podium untuk memberi sambutan sekaligus membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tersebut.
Dalam pidatonya, mantan gubernur Jakarta itu menyampaikan inisiatif yang tegas soal arah Asia Afrika ke depan. Mengusung semangat Dasasila Bandung, Jokowi mengkritisi sikap negara-negara maju yang menolak perubahan. Padahal, penguasa lembaga global seperti PBB merupakan warisan dari perang dunia kedua.”Cita-cita bersama mengenai lahirnya sebuah peradaban baru yang berdasarkan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran masih jauh dari harapan. Ketidakadilan dan ketidakseimbangan global masih terpampang di hadapan kita,” ungkap tegas Jokowi dalam pidato berbahasa Indonesia kemarin (22/4).
Dalam pidato selama 18 menit, Jokowi juga menyoroti penggunaan sumber daya bumi dari negara-negara kaya yang mencapai 70 persen darti total konsumsi global. Padahal, populasi negara tersebut hanya 20 persen dari toal jumlah penduduk dunia. “Ketika ratusan orang di belahan utara bumi menikmati hidup superkaya, 1,2 miliar penduduk belahan selatan bumi mempunyai penghasilan kurang dari 2 dolar (Rp 26 ribu) per hari,” ucapnya.
Ketimpangan tersebut, lanjut dia, semakin terlihat dengan aksi PBB yang mulai kehilangan taring. Jokowi menyayangkan banyak aksi kekerasan yang terjadi tanpa adanya mandat PBB. “OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan negara di Asia-Afrika mendesak reformasi PBB,” ungkapnya.
Jokowi juga menyoroti lembaga keuangan global seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB yang masih memerintah kebijakan ekonomi dunia. “Ketidakadilan global terasa ketika sekelompok negara enggan mengakui realita dunia yg telah berubah. Pandangan yg mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF dan ADB adalah pandangan usang yang perlu dibuang,” tegasnya.
Hal tersebut pun disetujui delegasi dari benua Afrika. Presiden Zimbabwe yang juga selaku ketua African Union (AU) Robert Mugabe. Pria yang menjadi co-chariman sesi I KTT dengan Jokowi menyatakan bahwa PBB adalah organisasi yang mau menang sendir. Pasalnya, PBB jarang menanggapi pendapat dari negara-negara Afrika dan Asia.”Mereka mendahulukan suara dari negara-negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB. Padahal, tak ada perwakilan Afrika disana. Jadi, kita harus memperkuat barisan agar PBB melihat semua anggotanya dengan setara,” ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, kepala negara yang diberi kesempatan untuk menyampaikan pernyataan di podium pun ikut urun suara mendukung inisiatif tersebut. Tak terkecuali, Ketua Presidium Korea Utara Kim Yong Nam. Dia secara tak langsung menegaskan bahwa kekuasaan PBB digunakan semena-mena oleh anggota penguasa sebagai alat mengintervensi urusan dalam negeri.
“Sesuai Dasasila Bandung, kerjasama berdasarkan kedautalan negar a masing-masing. Kami sendiri keberatan dengan upaya aggresi yang mengganggu kedaulatan kami. Seperti Amerika Serikat yang sebenarnya negara pelanggar HAM terbesar,” terangnya.
Tak hanya negara berkembang, negara maju yang menjadi peserta KAA pun ikut mendukung. Hal tersebut terungkap usai pertemuan Bilateral antara Jokowi dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Menurut lansiran situs resmi Sekretariat Kabinet, Abe secara personal mendukung inisiatif Jokowi untuk mereformasi PBB.
Dalam pidatonya saat KTT pun, Abe menyatakan bahwa Asia Afrika harus menjadi garda depan sebagai motor perdamaian dunia. Menurutnya, banyak negara di Asia dan Afrika yang dulu menjadi penerima bantuan sudah berubah status menjadi rekanan ekonomi. “Kita harus membangun pasar yang terbuka dan dinamis. Pertumbuhan di Asia dan Afrika tak boleh jadi sekedar hal yang fana,” terangnya. (bil/owi/dyn/kim)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn