AirAsia Indonesia langsung merespon hasil investigasi KNKT atas kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya- Singapura itu. Maskapai, yang didirikan pengusaha Malaysia Tony Fernandes, itu mengaku siap mengambil pelajaran dan memperbaikinya.
Presiden Direktur AirAsia Indonesia Sunu Widyatmoko mengatakan, sesuai laporan KNKT penyebab dari peristiwa itu merupakan kombinasi dari berbagai faktor. “Kami mengucapkan terima kasih kepada KNKT dan seluruh pihak terlibat dalam investigasi. Ada banyak pelajaran dapat diambil bagi industri penerbangan secara keseluruhan dan kami senantiasa berdedikasi dalam memastikan standar keselamatan AirAsia Indonesia tetap berada pada level tertinggi di industri,” kata dia dalam keterangan resmi, kemarin.
Setelah tragedi tersebut, Sunu mengatakan, pihaknya menggandeng mantan regulator Federal Aviation Administration (FAA) dan Bureau Veritas untuk memberikan rekomendasi dalam peningkatan standar keselamatan maskapainya. ” Kami juga melakukan beberapa inisiatif safety sebelum laporan KNKT dikeluarkan. Termasuk menambahkan pelatihan upset recovery ke dalam silabus recurrent training,” akunya.
Selain itu juga menambahkan sesi pelatihan simulator dalam pelatihan awal dan implementasi sistem Airman yang akan memberikan pengawasan secara realtime terhadap sinyal masalah di pesawat (aircraft fault messages). “AirAsia berkomitmen untuk secara berkelanjutan mengembangkan dan meningkatkan proses keselamatan agar sesuai dengan standar keselamatan internasional tertinggi,” tekadnya.
Pakar Penerbangan, Gerry Soejatman, menegaskan hasil temuan KNKT itu harus menjadi pelajaran penting bagi industri penerbangan baik itu maskapai maupun regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Terlebih upset recovery dimaksud yang menyebabkan pesawat itu jatuh selama ini tidak masuk dalam prioritas dalam pelatihan awak maskapai. Regulator juga tidak memerhatikan hal tersebut. “Upset recovery atau keadaan yang aneh itu siapa yang melakukan pelatihan itu? Tidak ada satu pun di Indonesia yang melakukannya. AirAsia juga baru-baru saja menambahkannya di pelatihan tetapi tidak khusus mengenai itu,” ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (01/12).
Gerry menilai, dari hasil investigasi KNKT, AirAsia juga tidak terlalu dipersalahkan terkait prosedur perawatan yang mengakibatkan retakan solder pada electronic module di RLTU. Hanya dikritisi bahwa tidak dilakukan monitoring tren kerusakan yang berulang-ulang.
“Selama ini, kalau perawatan itu tidak mengharuskan mengganti suku cadang (sparepart) memang tidak ada prosedurnya. Tapi kalau repairnya itu butuh ganti barang itu memang ada prosedurnya. Jadi ini pelajaran berharga buat industri,” tegasnya.
Gerry juga berharap regulator terutama Kemenhub lebih bijak menyikapi sebuah peristiwa. Sebab Menteri Perhubungan pada Januari 2014 tegas menyatakan kepada publik bahwa penyebab jatuhnya QZ 8501 adalah faktor cuaca.
Faktanya, hasil investigasi KNKT tidak sedikitpun menyebut ada faktor cuaca di situ. “Apalagi saat itu ada kesan AirAsia malas hindari cuaca demi irit bahan bakar. Itu dampaknya cukup besar bagi nama baik maskapai. Nah sekarang, ada kah permintaan maaf dari pemerintah (kepada AirAsia) atas kesalahan statement itu? Jadi ini juga hal yang harus diperbaiki di industri,” pikirnya.
Mengenai hal teknis dari hasil temuan KNKT sebagai salah satu rangkaian penyebab jatuhnya pesawat, Gerry menyesalkan terlalu inisiatifnya pilot mereset Circuit Breaker (CB). “Pilotnya diduga melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. CB dia cabut. Itu tidak ada di prosedur. Mereka harus tahu konsekuensinya. Maka pilot itu jangan terlalu kreatif,” sesalnya.
Dia juga menilai ada kemiripan dari peristiwa QZ8501 dengan jatuhnya Air France rute Rio De Janeiro (Brazil) – Paris pada 2009. Pesawat sama-sama jatuh saat sistem autopilot mati. Adam Air yang hilang di Sulawesi pada 2007 juga mengalami hal sama tetapi khusus maskapai yang sudah tutup itu ada kerusakan instrument. “Kalau AirAsia dan Air France ini tidak ada instrument yang mati. Kenapa kalau autopilot mati kok pesawat jatuh ya?” herannya.
Saat ini sedang menjadi perdebatan di industri penerbangan dunia apakah melakukan penambahan sistem otomatisasi atau penambahan sistem manual. Bagi maskapai, sistem otomatisasi membawa keuntungan salah satunya berupa efisiensi bahan bakar.
Sebaliknya, kekurangannya adalah bisa mengurangi kemampuan pilot dalam menerbangkan pesawat. Dengan begitu maka perlu ditingkatkan penerbangan secara manual agar kemampuan pilot teruji dan semakin terasah menghadapi berbagai situasi.
“Air France itu sekarang selalu meminta pilotnya melakukan terbang manual dalam kondisi tertentu selama tidak mengganggu keselamatan, tujuannya supaya kemampuan terbang pilot tetap terasah walaupun harus mengorbankan bahan bakar,” ulasnya.
Sebab antara AirAsia QZ 8501 dengan Air France, kata Gerry, situasinya sama. Ketika autopilot mati, hidung pesawat mulai naik dan pilot tidak dapat mengendalikan lagi sehingga akhirnya pesawat jatuh. “Tidak ada cara untuk keluar dari kondisi itu,” sesalnya.
Sementara itu, keluarga Kapten Iriyanto, Pilot Air Asia QZ-8501 telah mengetahui keterangan KNKT terkait penyebab kecelakaan pesawat yang terjadi pada 28 Desember tahun lalu.
Namun, keluarga Iriyanto belum bisa berpendapat terkait pernyataan dari KNKT tersebut. Mereka belum dapat menanggapi hal tersebut. “Maaf saya belum bisa coment (komentar),” kata RR Widya Sukati Putri, istri Iriyanto melalui pesan singkat yang dikirim ke Jawa Pos.
Hal yang sama disampaikan oleh Angela Anggi Ranastianis, putri Iriyanto. Gadis tersebut mengatakan bahwa dirinya belum bisa bebicara banyak tentang keterangan KNKT. “Kami belum mau berkomentar apa-apa. Sebagaimana yang diberitakan saja,” ucapnya (gen/may)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn