TERUS BERTAHAN: Salah seorang pembatik di Desa Papringan Banyumas sedang bekerja memproduksi batik meski omset masih terus turun. (Ali Ibrahim/Radar Banyumas)
Hal yang paling terkesan saat batik laku di Amerika. Jika dirupiahkan, batik tulis dengan pewarna alami dihargai senilai Rp350 ribu hingga Rp1,5 juta tergantung kerumitan motif. Sementara untuk batik cap dihargai senilai Rp120 ribu hingga Rp350 ribu. Tak hanya Amerika, batik kala itu menembus negara India, Jerman, dan Inggris.
Salah seorang pembatik lainnya, Wartinah menuturkan, batik Papringan memilik ciri khas berbeda dengan batik daerah lain.
“Ciri khasnya ada gambar Sungai Serayu, gurstan bambu, bawor klintung, serta bunga Wijayakusuma, dengan warna gelap. Khas ini sudah turun temurun,” katanya sembari terus membatik.
Meski begitu, saat ini batik mengalami inovasi, dengan menorehkan warna-warna yang berani. “Tapi tidak meninggalkan kesan aslinya, yakni warna tetap gelap sebagai warna utama,” jelas dia.
Proses pembatikan dimulai dengan membuat pola di kertas, menerapkan pola di kain, pencantingan, pewarnaan beberapa tahap, serta proses pengeringan.
Namun masa jaya KUB Pringmas mengalami kemerosotan saat pandemi Covid-19 mewabah secara global. Omzet penjualan turun drastis. Dahulu, jika omzet sebulan bisa mencapai Rp50 juta, kini turun menjadi 90 persen.
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn