TETAP KHIDMAT: Suasana di bibir kawah Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, tempat diadakannya larung sesaji seabgai puncak ritual Yadnya Kasada, Kamis (16/6). (DIPTA WAHYU/JAWA POS)
Warga dari beragam latar tidur di bibir kawah Bromo, membawa berbagai hasil bumi, berselimut kabut, dalam suhu 10 derajat Celsius. Semua demi mengungkapkan rasa syukur.
ARIF ADI WIJAYA, Kabupaten Probolinggo
PUKUL 05.00, saat warga yang baru mengikuti larung sesajen mulai turun dari bibir kawah Gunung Bromo, Candra Hanafi memilih bertahan.
Petani dari Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, itu menunggu matahari terbit untuk melarung hasil pertaniannya.
“’Ini saya bawa brambang (bawang merah, Red) dan kubis,” katanya sembari menunjukkan yang dia bawa kepada Jawa Pos.
Rangkaian Yadnya Kasada baru saja berakhir pada pagi buta Kamis (16/6). Kabut tebal masih menyelimuti. Dan, masih seperti itu ketika jarum jam bergulir ke 05.30.
Matahari yang ditunggu Hanafi tak kunjung menampakkan sinar.
“Wis saiki ae larunge, koyoke gak muncul srengengene kenek kabut (sudah sekarang saja melarungnya, sepertinya matahari tidak muncul karena kabut, Red),” ucapnya.
Wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terbentang di empat kabupaten di Jawa Timur: Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Bagi warga di kawasan itu, salah satu makna Yadnya Kasada adalah wujud harmoni antarmanusia serta manusia dengan alam.
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn