DILEMA: Perajin memproduksi tahu putih di Sumpiuh. (FIJRI/RADARMAS)
SUMPIUH-Perajin tahu bertambah dilema. Sebab, harga bahan baku kedelai terus saja mengalami kenaikan.
Perajin tahu Dede Suryana menceritakan semakin dilema karena ketika mengurangi produksi. Maka asumsinya, omset turun.
Sedangkan biaya produksi tidak hanya persoalan kedelai. Ada bahan lain untuk pembuatan tahu dan operasional.
Kedelai impor saat ini sudah mencapai Rp 12.500 satu kilogram. Artinya, sejak terjadi kenaikan harga, sudah hampir dua kali lipat. Ketika itu, kedelai masih antara Rp 7 sampai 8 ribu paling mahal.
“Masalahnya, kenaikan harga kedelai sedikit-sedikit tapi hampir setiap hari. Sudah untungnya tambah tipis, malah untuk menambah modal karena harga hari kemarin dengan hari ini beda, naik,” papar Dede, Senin (14/3).
Perajin agar tetap untung meski tipis mengakali dengan memperkecil ukuran tahu. Sehingga, tidak harus mengurangi omset produksi dan menaikan harga jual.
“Imbas lainnya adalah penjualan tahu sedang sudah,” imbuh Dede di sela aktivitasnya.
Bahan baku kedelai untuk tahu sebenarnya tidak harus produk impor. Disebut Dede, kedelai lokal juga bagus untuk tahu. Karena yang dibutuhkan adalah pati kedelai.
Sayangnya, kedelai lokal tidak selalu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produkai. Sehingga, perajin tahu membeli kedelai impor yang harganya lebih mahal dari lokal.
“Kedelai lokal biasanya di musim kemarau. Tapi, tidak seperti impor. Kadang kedelai lokal ada yang kurang kering, masih agak kotor, ukurannya kecil. Sehingga, harganya relatif tergantung petani dan bisa ditawar,” tandas Dede. (fij)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn