SABAR : Drs Rubimanto MPd tidak pernah marah dengan muridnya yang disebutnya punya talenta. AAM JUNI/RADARMAS
Rubimanto kecil punya cita-cita menjadi dokter. Namun, jalan hidup membawanya mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Tiga puluh tahun sudah dia menghabiskan waktu mendidik anak-anak di SLB. Belakangan dia justru banyak belajar dari mereka. Mulai dari sabar hingga arti bersyukur.
Drs Rubimanto MPd mulai mengajar di SLB sejak 1992 lalu. Karirnya justru bermula dengan mengajar di Taman Kanak-kanak di Batang, Pekalongan pada 1984.
Karirnya melesat. Tahun 2013, dia dipercaya menjadi kepala sekolah di SLB C Yakut Purwokerto.
“SLB C itu untuk anak-anak dengan hambatan intelektual. A untuk tunanetra, B untuk tunarungu, D untuk tunadaksa,” kata pria asal Solo ini.
Dia bercerita, dulu dia tidak memilih jurusan pendidikan luar biasa (PLB) sewaktu kuliah. Tapi memang sudah rezeki. Rubimanto justru dapatnya jurusan tersebut.
“SMP ingin jadi dokter. Tapi sadar, orang tua tidak punya uang. Saat SMA ingin jadi guru. Tapi dari situlah saya bisa mencapai kesuksesan,” tuturnya.
Pada 2009, jadi tahun yang spesial bagi Rubimanto. Dia bisa ke Norwegia, untuk menimba ilmu dan memperdalam spesialis pendidikan luar biasa di Oslo University. “Dulu yang berangkat 13 orang se-Indonesia. Saya salah satunya,” ujarnya dengan bangga.
Selama di Norwegia, dia belajar banyak hal. Satu yang membedakan pendidikan luar biasa antara di Indonesia dengan Norwegia, adalah soal komitmen pemerintah dan juga fasilitas.
“Di Eropa, PLB dapat perhatian yang luar biasa dari pemerintah. Disana PLB dan pendidikan umum dicampur, fasilitas dipenuhi lengkap,” ucapnya.
Selain itu, tenaga pendidik PLB di Eropa jumlahnya ideal. Kondisi tersebut sangat berbeda jauh dengan di Indonesia.
Laman Berikutnya: 1 2
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn