ILUSTRASI
Ada pergeseran penyakit masyarakat (pekat). Razia yang dilakukan aparat penegak peraturan daerah (perda) tak lagi didominasi pekerja seks komersial (PSK). Yang tertangkap basah, justru pasangan selingkuh.
SEJUMLAH penarik becak nampak berkerumun, di pinggiran Jl Kalibaru Cirebon. Diantara mereka, ada beberapa perempuan berusian 30-40 tahunan. Sebatang rokok nampak terselip di jemarinya. Sembari sesekali menggoda siapa saja yang melambatkan laju kendaraan.
Kawasan ini, sejak lama dikenal sebagai area yang kerap dipakai mangkal para pekerja seks jalanan. Dengan tarif Rp 100-300 ribu untuk kencan singkat. Usia mereka kian menua. Dibandingkan beberapa tahun silam, jumlahnya memang kian menyusut.
Meski demikian, bisnis prostitusi seakan tidak akan pernah mati. Selalu ada cara bagi para pelaku bisnis prostitusi untuk bertahan dari terpaan. Bahkan dari krisis ekonomi sekalipun.
Di Kota Cirebon, bisnis prostitusi memang masih marak meski era keemasannya kian memudar. Terutama di sejumlah titik yang kerap dijadikan sebagai tempat “mangkal” seperti di Jalan Kalibaru dan sekitar Terminal Harjamukti.
Prostitusi jalanan memang kian tergerus. Lantaran penggunaan teknologi yang membuat mereka bisa lebih leluasa mencari pria hidung belang serta meninggalkan cara lama.
Kepala Seksi Pengendalian dan Operasi (Dalops) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Cirebon, Herbinawan mengakui, semakin ke sini jumlah pekerja seks yang terciduk razia tambah sedikit. Tahun 2017 dan 2018 misalnya, hanya dua yang tertangkap aparat. Sementara hingga Oktober 2019, ada lima PSK yang tertangkap. Padahal, Satpol PP sering melakukan razia penyakit masyarakat (pekat) yang menyasar PSK.
Tangkapan razia pekat justru kini didominasi pasangan selingkuh yang kedapatan berdua-duaan di kamar hotel atau kamar kos, tanpa ada bukti kuat perkawinan seperti buku nikah atau dokumen bukti lainya.
Berdasarkan hasil rekap razia penyakit masyarakat (pekat) oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Cirebon, hingga Oktober 2019, Satpol PP menjaring hingga 13 pasangan selingkuh.
Jumlah ini memang menurun dibandingkan tahun 2017, di mana razia berhasil menangkap 35 pasangan selingkuh. Sementara di tahun 2018 yang terciduk 24 pasangan saja.
Meski jumlah “tangkapan” semakin menurun, namun Herbinawan juga mengakui, jumlah tersebut tidak serta merta menggambarkan kondisi sebenarnya, baik penyakit masyarakat maupun bisnis prostitusi di wilayah Kota Cirebon. Terlebih dengan maraknya aplikasi online dan juga media sosial, yang memudahkan pelaku bisnis esek esek lebih leluasa menjalankan aksinya.
“Kita melakukan operasi hanya di jalan, hotel-hotel dan kos-kosan saja. Karena kita belum mempunyai divisi online untuk penyelidikan. Sehingga masih mengandalkan laporan dari masyarakat saja,” tuturnya.
Herbinawan melanjutkan, baik pasling maupun PSK yang tertangkap akan mendapatkan pembinaan. Jika terbukti bekerja sebagai PSK, maka akan melakukan assesment dengan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) untuk kemudian dilakukan rehabilitasi sosial perempuan di Palimanan, Kabupaten Cirebon. “Mereka di sana akan dibina. Dilatih supaya mandiri. Seperti diberikan pelatihan menjahit, tata boga dan sebagainya. Ya harapannya tidak kembali jadi PSK,” tukasnya.
Seperti diketahui, seks bebas masih menjadi penyebab utama penyebaran virus HIV/AIDS di Kota Cirebon. Setahun ini saja, terdapat 70 kasus baru. Itu yang terdata. Di luar itu, diyakini masih ada yang belum tertangani.
Secara komulatif, terjadi penurunan penyebaran HIV/AIDS di Kota Cirebon. Meski demikian, penyebarannya masih terus terjadi.
Berdasarkan data terakhir yang dihimpun oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon, hingga Oktober 2019, terdapat 1.192 penderita HIV/AIDS di Kota Cirebon. Dari jumlah itu, 70 kasus diantaranya merupakan temuan kasus baru yang dicatat oleh KPA Cirebon.
Sekertaris KPA Kota Cirebon, Sri Maryati mengungkapkan, bila dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah tersebut mengalami penurunan dibanding 2018, dengan jumlah pengidap sebanyak 115 kasus. Rata-rata mereka berusia produktif, yang berkisar mulai dari 20-54 tahun.
“Meskipun untuk dua bulan ini datanya belum diinput. Namun memang kalau dilihat trennya, dengan tahun lalu, kemungkinan tidak akan melebihi,” ungkapnya.
Penyebaran HIV/AIDS di Kota Cirebon masih didominasi oleh perilaku seksual berisiko. Baik hubungan homoseksual maupun heteroseksual. Mengingat Kota Cirebon dan sekitarnya sudah kini mulai menjadi kota tujuan.
Sri tidak menampik, maraknya aplikasi dan media sosial juga turut mempengaruhi peningkatan penyebaran virus HIV/AIDS terutama lewat prostitusi online. Celakanya, segmen ini banyak menyasar remaja.
“Kalau penderita dari kalangan remaja, memang kebanyakan mereka mendapatkan akses seks berisiko itu dari aplikasi atau media sosial,” ungkapnya.
Meski mengalami penurunan jumlah temuan kasus baru HIV, dirinya menegaskan bahwa pihaknya akan terus melakukan upaya-upaya yang komprehensif dalam pencegahan penyebaran virus HIV/AIDS, khususnya di Kota Cirebon yang salah satunya dengan memberikan pendidikan seks usia dini kepada kaum remaja.
Tahun 2030, Kementrian Kesehatan menargetkan tidak akan ada lagi infeksi baru HIV dan orang yang meninggal karena infeksi tersebut. Sehingga diharapkan, masyarakat mampu menjaga diri untuk tidak melakukan perilaku berisiko akan penularan HIV itu sendiri. (awr)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn