PURBALINGGA- Catchment Area (daerah tangkapan air) di Kabupaten Purbalingga didominasi di wilayah barat dan utara Purbalingga. Kini kondisinya dinilai mulai terpengaruh pola tanaman dan imbasnya debit air berkurang. Misalnya di wilayah Kecamatan Karangmoncol dan Rembang.
Direktur Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Perwira (PDAM, red) Riyanto melalui Kabag Teknik, Sugeng W menjelaskan, saat jajarannya cek lokasi ke beberapa titik curug di wilayah utara Purbalingga, aliran airnya sudah sangat minim. Ternyata setelah di cek lebih jauh lagi, vegetasi atau pepohonan di atas sudah sangat minim.
“Jelas terlihat karena pengaruh pepohonan yang dulunya hijau dan rimbun, saat ini gersang. Ditambah musim kemarau, wilayah catchment area (tangkapan air hujan, red ) terpengaruh,” katanya, Senin (22/6).
Tak hanya itu, di lahan wlayah yang turun tangkapan airnya itu juga banyak lahan perorangan yang ditanami pohon musiman. Sehingga pohon itu tidak bisa diandalkan menjadi tangkapan air. Dampaknya sangat terasa seperti di aliran curug dan lainnya.
Namun menurutnya masih mendingan di Purbalingga, air masih tersedia meski sumbernya berkurang. Kabupaten tetangga lainnya sudah ada yang lebih memprihatinkan daripada Purbalingga.
“Kami berharap mari dijaga bersama, karena semua untuk generasi penerus kita. Kalau lingkungan terjaga dan sumber air terjaga, maka akan mampu mencukupi semua elemen masyarakat, terutama di musim kemarau mendatang,” tegasnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Purbalingga, Priyo Satmoko SH MH mengatakan, data sesuai pemetaan sebelumnya, wilayah tangkapan air ada di utara dan barat Purbalingga. Namun saat ini seiring berkembangnya kehidupan, jelas ada perubahan.
“Saya tidak tahu berapa perubahannya, namun yang jelas terpengaruh di wilayah tangkapan airnya. Karenanya, daerah itu harus dijaga dengan konservasi maupun upaya agar wilayah tangkapan itu tetap menjadi catchment area.
Beberapa wilayah tangkapan air diantaranya Kecamatan Kutasari, Bojongsari, Bobotsari dan lainnya. Karena masih adanya pohon yang menjaga keutuhan tangkapan air itu. Data yang ada di DLH masih berkisar di atas 70 persen.
Kini yang harus digencarkan yaitu semua wilayah harus membiasakan adanya biopori. Jangan sampai air ketika hujan langsung lari ke sungai, karena tidak ada resapan. Kondisi ini yang menyebabkan saat kemarau selalu kurang air.
Terobosan lainnya yaitu dibuat semacam embung. Tujuannya untuk menampung air yang ada di lokasi rawan krisis air itu. Kapasitasnya bisa besar dan di beberapa wilayah sudah ada. Kemudian dengan adanya biopori, air yang meresap nantinya dapat menjadi sumber air bersih yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan bersama. (amr)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn