FIJRI RAHMAWATI/RADARMAS
PEMBELAAN: Terdakwa mutilasi memegang surat pembelaan
BANYUMAS-Terdakwa pembunuhan dan mutilasi Deni Priyanto alias Goparin bin Yanwili Mewengkang dalam persidangan di Pengadilan Negeri Banyumas dengan agenda pembelaan atau pledoi meminta keringanan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Sebab, hukuman mati yang ditetapkan oleh jaksa penuntut umum kurang memenuhi rasa keadilan.
Dalam sidang terbuka untuk umum itu terdakwa berdiri untuk membaca pembelaan yang telah ditulis dalam dua lembar kertas folio bergaris. Akan tetapi, setelah mengucapkan salam dan pernyataan maaf kepada keluarga korban, istri dan ibu dengan terbata. Terdakwa kemudian tergugu dengan pundak naik turun dan tangan gemetar. Terdakwa tidak lagi mampu meneruskan kata-katanya.
Tangis terdakwa nyaris tidak terkendali dalam persidangan nomor perkara 116/Pid.B/2019/PN.Bms itu. Hingga Hakim Ketua Pengadilan Negeri Banyumas Abdullah Mahrus mempersilahkan terdakwa untuk kembali duduk dan menenangkan emosinya.
Lalu terdakwa yang merupakan warga Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara itu menarik nafas panjang berulang kali. Pledoi yang ditulis dengan tangannya sendiri diserahkan kepada penasihat hukum terdakwa, Waslam Makhsid dan Ade Budi Brilliant. Terdakwa masih dalam kondisi menangis sesenggukan.
“Sangat mengharapkan kemurahan hati Yang Mulia Hakim. Semoga saya diberi keringanan hukuman. Agar suatu saat nanti masih dapat berkumpul kembali dengan keluarga,” kata Ade Budi membacakan pledoi terdakwa, Selasa (10/12) dalam persidangan.
Permintaan keringanan tersebut lantaran terdakwa masih memiliki ibu yang telah sepuh. Sehingga ingin berbakti dan merawat ibu. Juga terdakwa mempunyai anak-anak yang masih kecil dan istri yang harus dinafkahi. Selama ditahan, keluarganya mendapatkan belas kasih tetangga untuk bertahan hidup.
Dalam persidangan dengan Hakim Anggota Tri Wahyudi dan Randi Jastian Afandi itu, juga dibacakan pledoi dari anak pertama terdakwa. Anak berusia sebelas tahun yang masih sekolah dasar itu dalam secarik kertas memohon keringanan hukuman untuk ayahnya.
“Om Hakim yg terhormat, kasihani kami. Om Hakim, jangan hukum berat ayah kami. Saya dan adik sayang ayah. Kasihani ibu dan mbah. Om Hakim, kasihani kami,” tutur penasihat hukum terdakwa Waslam.
Menanggapi pledoi terdakwa, Jaksa Penuntut Umum Sujadi meminta waktu selama satu minggu untuk membuat replik. Tanggapan atas pledoi terdakwa dalam bentuk tulisan.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa Waslam Makhsid menegaskan terdakwa terbukti melakukan pembunuhan terhadap korban. Akan tetapi, menolak tuntutan dakwaan pembunuhan berencana. Tindakan yang dilakukan terdakwa akibat kebingungan menghadapi masalah.
“Sehingga kami mengajukan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan maksimal penjara selama 15 tahun. Bukan pasal 340 KUHP tuntutan jaksa,” tegas Waslam usai persidangan.
Keberatan tuntutan hukuman mati untuk terdakwa juga berdasarkan dunia internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahwa pidana mati telah dihapus sejak 1971. Selain itu, di Indonesia dalam UU pasal 28 ayat 1 setiap orang berhak atas hidupnya.
Hukuman mati juga masih menimbulkan pro dan kontra. Bertentangan dengan ajaran agama dan hak asasi manusia. Selain itu, hukuman mati bukan alat efektif untuk menimbulkan efek jera.
“Dari keterangan saksi, fakta persidangan, bahwa ada hal yang meringankan terdakwa. Diantaranya, terdakwa adalah kepala keluarga dan menyesali perbuatannya,” tandas Waslam. (fij)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn