Ilustrasi. BPNT
BANYUMAS – Penentuan suplier Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan dikeluhkan warga. Hal itu dinilai karena Tidak memberikan ruang untuk bersaing, dan merusak harga.
Bambang, salah satu Pedagang Beras asal Limapkuwus mengatakan, sejak adanya model penentuan supplier BPNT ditentukan, akhirnya tidak memberikan ruang untuk bersaing.
“Sejak ada model supplier ditentukan satu Kecamatan supliernya si A, Kecamatan ini suppliernya si B, akhirnyakan kita tidak punya kesempatan bersaing dalam pasar,” katanya kepada Radarbanyumas.co.id, Rabu (7/4).
Yaitu dengan harga beras medium yang saat ini diharga 8 ribu perkilogramnya, Ia menambahkan, dengan kebijakan yang ada di Dinsospermades, harga beli agent tetap dipatok harga 9.000 perkilogram.
“Nah ini keluhan sekarang yang sudah jelas sekali saat ini adalah harga besar diluarkan sedang murah, 8 ribu bahkan ada yang dibawah 8 ribu, kualitasnya sama medium. Tapi ini ada ketetapan dari Dinsos bahwa harga beli agen di patok diharga 9.000 dan harus membelinya dari orang satu. Inikan jadi kesempatan untuk bisa ada keuntungan lebih jadi tidak bisa, itu satu,” tambahnya.

Harus beli diorang satu atau supplier yang telah ditentukan, Ia juga melanjutkan, dengan harga turun PHK harusnya bisa dapat 11 Kg, tetapi tetap hanya bisa mendapatkan 10 Kg.
“Kedua, PHK itukan membelinya harganya tetap ajek, sehingga jatahnya tetap 10 Kg, kalau harga turunkan dia bisa dapat 11 Kg. Jadi ini ada pematokan harga beras, agen ini membelinya 9.000, menjualnya 9.450 dibatasi. Kalau agen ini bisa membeli 8.000 kan dia bisa jual 9.000 ribu, PKH kan diuntungkan dengan 450 perkilo, dia bisa belanja yang lain lagi,” lanjutnya.
Sehingga dengan adanya penentuan supplier ke agen itu dinilai merugikan banyak pihak.
“Agen BPNT ini bisa membeli beras misalnya 8.000 tetapi karena ada monopoli dipaksa tetap membayar ke si A 9.000 tetapi dengan kualitas yang sama, bahkan mungkin dibawah itu kualitasnya. Jadi penentuan bahwa si A agen ini di Kecamatan ini harus ambil ke si A si B, gak boleh ngambil kesana. Inikan merugikan banyak pihak. Contohnya saya waktu tahun lalu jadi ketua Bumdes, untuk mengisi agen di Desa saya sendiri tidak bisa, padahal harga saya lebih murah berasnya lebih bagus,” terangnya.
Tidak hanya beras, telurpun seperti itu.
“Jadi praktek monopolikan namanya, telurpun begitu, kalau dicek harga diluar minggu-minggu kemarin sebelum pembagian harganya 19 ribu sampai 20 ribu, tetapi begitu pembagian naik jadi 25 ribu sampai 27 ribu bahkan pernah,” imbuhnya.
Lalu termasuk masalah tempe, dan sayur mayur, menurutnya, agen bisa membeli dari warga sekitar, atau Desa yang menanam sayur, mengapa harus di drop dari Purwokerto, sehingga perekonomian di Desakan bisa jalan. (win)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn