SAYANG : Yahya Fuad setelah meninggalkan ruang sidang langung memeluk ibu kandungnya yang ikut hadir dalam sidang pada Rabu (10/10).JAWAPOS
SEMARANG – Bupati Kebumen nonaktif Mohammad Yahya Fuad rela dan ikhlas apabila majelis hakim memutuskan untuk mencabut hak politiknya dicabut untuk beberapa waktu tertentu. Bahkan alumnus Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran tersebut secara tegas mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Hal itu disampaikannya dalam pledoi (pembelaan) pribadi, atas perkara dugaan korupsi terkait suap sejumlah proyek di daerah Kebumen yang menjeratnya, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (10/10).
“Saya masih trauma untuk berpolitik. Sedangkan terkait ijon sama sekali kami tak meminta maupun menyuruh, saya hanya korban sistem,” kata Yahya Fuad, dalam pledoinya, dihadapan majelis hakim yang dipimpin, Antonius Widijantono.
Dia juga meminta majelis hakim, dalam putusannya untuk menahan dirinya di Lapas Sukamiskin dengan alasan keluarganya dekat disana. Selain itu, ibu mertuanya sedang sakit, sehingga apabila istrinya datang menjenguk tak perlu tidur di hotel. Ia beralasan, perbuatan yang dilakukannya betul-betul untuk pembangunan di Kebumen.
“Semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk semua. Saya juga memohon bila majelis berpendapat lain, agar diberi putusan seringan-ringannya, sebagaimana fakta persidangan yang ada,” ungkapnya.
Sedangkan dalam pembelaan yang disampaikan penasehat hukumnya, Atatin Malihah, mengurai sebagaimana analisis fakta persidangan. Ia menyampaikan, saat penerimaan uang, terdakwa belum menjadi penyelenggara negara.
Disampaikannya, hampir semua proyek sebelum lelang memang sudah dimintai fee sejak sebelum terdakwa menjabat. Selain itu, menurut pihaknya, pengumpulan dana dari Hojin Ansori bukan atas permintaan terdakwa dan bukan sebagai fee proyek.
“Pemberian uang dari Hojin sebelum terdakwa dilantik dan melalui agus, posisi terdakwa diperusahaan juga sudah dirubah hanya sebagai pemegang saham,” imbuhnya.
Pihaknya menyampaikan, penerimaan uang dari Hojin bukan kapasitas sebagai penyelenggara negara, bahkan tidak dapat dibuktikan penuntut umum dalam persidangan. Sedangkan untuk kegiatan bina lingkungan dilakukan Barli Halim, tidak ada keterangan saksi manapun yang menyebutkan dilakukan terdakwa.
“Seluruh kegiatan bina lingkungan dilakukan untuk kegiatan-kegiatan instansi terkait di Kebumen, sehingga tidak ada sepeserpun uang bina lingkungan masuk ke terdakwa,” tandasnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa dengan pidana 5 tahun penjara, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dan membebankan denda Rp 600juta subsidsir 6 bulan kuruangan.
KPK menilai terdakwa bersalah sebagaimana dakwaan pertama Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor jucnto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Menurut KPK, terdakwa yang terbukti menerima fee dari sejumlah orang diantaranya; Hojin Ansori, Sulchan Mustofa, M. Ingsun, Zaini Miftah, Arif Budiman, dan Hartoyo, sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sebagai bentuk perbuatan tindak pidana. Selain itu, PU tidak menemukan alasan pemaaf maupun pembenar, yang ada pada diri terdakwa.
“Hadiah atau pemberian tersebut untuk mengerakkan sesuatu dalam jabatannya, dengan demikian terdakawa memiliki kesalahan sebagaimana dakwaan jaksa dan syarat obyektif dan subyektif jaksa telah terpenuhi,” tandasnya. (jks)
Facebook
Twitter
Instagram
Google+
YouTube
LinkedIn